Through The Years
Perjalanan Gereja Keluarga Kudus Atmodirono
Mengarungi Sang Waktu
Tonggak Sejarah Ditancapkan
Tahun 1929, Rm. Adrianus Kouwenhoven MSF, prokurator misi di Belanda mengadakan visitasi ke Borneo (sekarang Kalimantan) sekaligus bertemu dengan Mgr. A. Van Velsen SJ, Vikaris Apostolik Batavia. Dalam kesempatan itu Mgr. Van Velsen menanyakan kepada Rm. Kouwenhoven atas kesediaan Kongregasi MSF untuk ambil bagian dalam karya misi di Pulau Jawa. Rm. Kouwenhoven belum memberikan jawaban pasti, namun menjanjikan untuk segera membicarakannya dengan Dewan Pimpinan Umum (Jendralat) MSF di Grave, Belanda.
Sekembalinya ke Belanda, Rm. Kouwenhoven menyampaikan hal tersebut kepada Pemimpin Umum MSF pada saat itu, Rm. A.M. Trampe MSF. Dalam sidang Dewan Pimpinan Umum 12 April 1930 diambil suatu keputusan untuk menerima tawaran membuka medan karya di Jawa. Pada bulan April tahun itu juga, Rm. Trampe menulis surat kepada Mgr. Van Velsen yang berisikan kesediaan untuk bergabung dalam karya misi di Jawa mulai tahun 1933.
Akan tetapi, pada awal tahun 1931, Rm. A. Van Kalken SJ, Superior Misi Jesuit di Jawa, memohon agar MSF dapat memulai karyanya lebih awal. 8 April 1931, Dewan Pimpinan Umum mengambil keputusan untuk memenuhi permohonan tersebut. pada tanggal 15 Juni 1931 dibuatlah persetujuan antara Vikaris Apostolik Batavia dengan Kongregasi MSF mengenai awal karya misi MSF di Pulau Jawa. Disebutkan dalam persetujuan tersebut, bahwa diserahkan kepada MSF adalah stasi Bangkong 1, yang akan menjadi Paroki Bangkong, dan mendapatkan PGPM (Pengurus Gereja dan Papa Miskin) sendiri.
4 Febuari 1932, berangkatlah 3 misionaris MSF dari Belanda menuju ke Pulau Jawa. Rm. Matthias Johannes Xaverius Wilkens MSF, Rm. Johanes Van Der Steegt MSF, dan Rm. Nicolaas Havenman MSF tiba di Semarang pada tanggal
26 Februari 1932.
Pada 12 Maret 1932, Rm. Havenman menerimakan sakramen permandian yang pertama di Paroki Bangkong. Maka secara resmi telah dimulailah karya MSF di Pulau Jawa. Saat itu tercatat jumlah umat di Paroki Bangkong sekitar 2000 jiwa dengan 400 kepala keluarga.
Sejak tahun 1932 ini pula, Paroki Bangkong juga membawahi Stasi Pati dan daerah Kudus serta Demak juga termasuk wilayah kerjanya. Secara berkala stasi ini dikunjungi para imam dari Semarang, hingga akhirnya berdirilah Paroki Pati sebagai paroki mandiri, pada tahun 1934, dan membawahi Stasi Kudus.
Karena gereja yang digunakan pada waktu itu adalah kapel susteran (Kapel Roh Kudus Bangkong), para imam MSF tersebut memikirkan pendirian gedung gereja yang baru, di samping jumlah umat yang mulai bertambah. Akhirnya, dibelilah sebidang tanah di tepi Jalan Atmodironoweg (setelah kemerdekaan menjadi Jl. Atmodirono 2) tanggal 6 Agustus 1935. Lahan tersebut dikenal dengan sebutan Land Peterongan seluas 4000 m2. Berdasar catatan Rm. Wilkens tertanggal 16 Januari 1936, gereja yang akan dibangun direncanakan memiliki daya tampung 600 orang. Tinggi 18 meter, panjang 41 meter, lebar luar 25 meter, lebar dalam 17 meter, menara setinggi 23,5 meter dengan salib di puncaknya setinggi 2,5 meter, dan denah gedung berbentuk salib.
Desember 1939 oleh Rm. Wilkens. Proses pembangunan gereja berlangsung selama delapan bulan lamanya. Hingga akhirnya, 10 Agustus 1940 gereja dan pastoran diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Willekens SJ, selaku Vikarius Apostolik Batavia. Gereja tersebut ditempatkan di bawah perlindungan “Sancta Familia” atau Keluarga Kudus.
Awal tahun 1950an, dibangunlah Gedung Panti Mandala sebagai tempat kegiatan umat yang semakin berkembang. Nama Panti Mandala diberikan oleh Rm. Dionisius Djono Adisoedjono MSF, imam MSF pribumi yang pertama (ditahbiskan di Belanda, 26 Juli 1942).
Atmodirono di Masa – Masa Awal
Tahun demi tahun berlalu, tambahan tenaga imam MSF dari Belanda terus berdatangan. Menggarap ladang misi di Pulau Jawa. Benih panggilan pun tumbuh di berbagai penjuru, para putra pribumi satu persatu mengikuti panggilanNya menjadi imam, termasuk di Paroki Atmodirono.
Tercatatlah seorang pemuda bernama Hidup, yang bekerja sebagai koster di Atmodirono dan dipermandikan di Atmodirono bersama puluhan remaja dari SD Tarsisius Pandean Lamper pada tahun 1953 dengan nama Aloysius. Memasuki pendidikan calon imam atas arahan romo paroki Atmodirono pada masa itu, Rm. JB. Van Beek MSF, hingga dithabiskan sebagai imam MSF, Rm. Aloysius Endrokarjono MSF.
Penetapan Gereja Katolik St. Mikael Demak
Tercatat pembaptisan pertama di wilayah Demak adalah pada tahun 1936 oleh Rm. P.G. Vossen. Dalam perkembangannya, komunitas umat katolik setempat secara rutin mengadakan ibadat bersama.
Pada Minggu Pertama di bulan Agustus 1954, terselenggaralah misa perdana di Demak, bertempat di rumah umat. Sejak itu dimulailah rutinitas perayaan ekaristi yang dilayani oleh imam – imam dari Paroki Atmodirono.
Kehidupan menggereja di wilayah Demak lambat laun mulai berkembang. Penetapan berdirinya Gereja Katolik St. Mikael Demak adalah berdasarkan Akte No. 47 Notaris R.M. Suprapto di Semarang tertanggal 2 Februari 1959 mengenai pengurus Gereja dan Papa Miskin (PGPM) Room Katolik di wilayah Gereja Maha Malaikat Santo Mikael Demak. Gedung gereja di Jl. Sultan Patah 185 dibangun pada tahun 1972.
Struktur kepengurusan awalnya hanya dilakukan secara sederhana oleh beberapa tokoh umat, hingga pada tanggal 29 September 1996 dimulailah kepengurusan Dewan Stasi, bersamaan dengan disahkannya “Pedoman Pelaksanaan Tugas Dewan Stasi Gereja Katolik St. Mikael Demak” oleh Rm. Y. Harjoyo Pr. selaku Pejabat Uskup Keuskupan Agung Semarang. Dalam pedoman tersebut ditetapkan pula bahwa Gereja St. Mikael Demak berstatus sebagai Stasi dan merupakan bagian dari Paroki Keluarga Kudus Atmodirono Semarang, meski buku paroki sudah dipisahkan, yaitu Buku Baptis sejak 2 Mei 1957, Buku Perkawinan sejak 12 September 1970, dan Buku Krisma sejak 15 agustus 1976.
Terbentuknya Paroki Mater Dei dan Kapel Kristus Raja
Dalam periode selanjutnya, menginjak tahun 1960an, umat Katolik di wilayah Atmodirono semakin berkembang. Maka, dipandang perlu membangun tempat ibadat lagi. Pengembangan gereja serta paroki juga berdasarkan banyaknya jumlah umat di wilayah tertentu dan jarak yang ditempuh umat untuk menuju ke gereja. Maka pada tahun
1967, Rm. A. De Koning MSF membangun dua buah kapel, satu berlokasi di Lamper Sari, dan satu lagi berlokasi di Tegalsari.
Karena jumlah umat sekitar yang begitu banyak, pada tanggal 20 Desember 1968, kapel di Lamper Sari diberkati oleh Kardinal Justinus Darmojuwono Pr. selaku Uskup Agung Semarang dan menjadi Paroki Mater Dei – Lamper Sari ketika Rm. PC. Joedodihardjo MSF diangkat menjadi Pastor Kepala Lamper Sari sejak tahun 1969. Pastoran Lamper Sari dibangun kemudian, dan selesai pada tanggal 3 Agustus 1971
Semula kapel Tegalsari juga direncanakan menjadi Paroki mandiri, namun karena letaknya yang terlalu dekat dengan gereja induk dan berbatasan langsung dengan Gereja St. Athanasius Agung Karang Panas, hanya kapel Lamper Sari yang telah berhasil menjadi Paroki Mandiri. Inilah “anak” Paroki Atmodirono yang kedua.
Dalam perkembangannya, Kapel Kristus Raja (Christus Rex) Tegalsari banyak dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan umat wilayah III (Tegalsari), V (Jomblang), dan IX (Genuk), yang bermedan perbukitan.
Renovasi fisik kapel mulai dirintis pada bulan Desember 2008, disusul dengan perpanjangan HGB tanah Kapel Kristus Raja pada 19 Juli 2010.
Sertifikat tanah atas nama Gereja Athanasius Agung Karang Panas karena lokasi cenderung lebih dekat dengan Gereja Karangpanas untuk mempermudah pengurusan surat – surat legal.
Selanjutnya dilaksanakan pula pembangunan Gua Maria Talanging Sih di samping kapel yang selesai pada tahun 2011, yang juga dilengkapi dengan pemberhentian jalan salib.
Perayaan Ekaristi yang dulunya hanya dua bulan sekali kini dirayakan setiap Minggu, pada hari Sabtu pk.17.30, ditambah dengan Misa Malam Jum’at Kliwon, yang dikenal dengan “Misa Kliwonan” yang menjadi kekhasan Kapel Kristus Raja Tegalsari.
Perkembangan Umat di Bagian Timur Kanal
Bermula dari Lingkungan (pada masa itu sering disebut “Kring”) Jambusari, yang pada tahun 1970 dikembangkan menjadi Wilayah V dengan 5 lingkungan Pandean Lamper, Jambusari, Sendangguwo, Gempolsari, dan Kabluk, pada tahun 1980 timbullah gagasan umat untuk membangun gedung gereja yang representatif.
Pada tanggal 29 Juni 1987 dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Rm. Ign. Wignyasumarta MSF selaku Kepala Paroki Atmodirono, bertepatan dengan pesta nama St. Paulus, yang nantinya digunakan sebagai pelindung gereja di Timur Kanal ini (Banjir Kanal Timur).
Pembangunan selesailah sudah. 28 Juni 1989 gedung gereja yang berlokasi di Jl. Dr. Muwardi 7, Sendangguwo diberkati oleh Rm. Chr. Purwawidyana Pr. selaku Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang, dan diresmikan oleh Walikota Semarang yang diwakili sekretarisnya, Bp. Drs. FX. Bambang Sriwidiyoko.
Keesokan harinya, pada tanggal 29 Juni 1989, gereja baru digunakan untuk mentahbiskan dua orang imam baru MSF, Rm. FX. Gunawan Heru Susanto MSF, dan Rm. Al. Rubidi MSF, oleh Uskup Surabaya, Mgr. Aloysius Joseph Dibyokaryono Pr.
Untuk melengkapi sarana gedung gereja sebagai persiapan menjadi paroki mandiri, dibangunlah gedung pastoran, yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 29 Juni 1990 oleh Rm. RB. Pranatasurya MSF.
Berdasarkan Surat Keputusan Uskup Agung Semarang No. 342/B/II/b/92 tanggal 31 Juli 1992, maka terhitung sejak 1 Agustus 1992 Gereja St. Paulus ditetapkan sebagai Paroki Mandiri terlepas dari Paroki Atmodirono dengan Rm. FX. Martawiryana MSF selaku Kepala Paroki St. Paulus Sendangguwo yang pertama. Dengan demikian lahirlah “anak” Paroki Atmodirono yang ketiga, menyusul Paroki St. Yusuf Pati dan Paroki Mater Dei Lamper Sari.
Menerima Paroki Administratif St. Petrus Gubug
Pada 25 Pebruari 1985, Stasi Gubug yang semula menginduk ke Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi ditetapkan oleh Keuskupan Agung Semarang sebagai Paroki Administratif St. Petrus Gubug yang menginduk ke Paroki Atmodirono, diawali dengan penempatan pastor pembantu pada 18 Januari 1985. Wilayah Paroki Administratif St. Petrus Gubug meliputi Gubug, Penadaran, Kedungjati, Tanggungharjo, dan Tegowanu.
Setelah Paroki St. Paulus Sendangguwo terbentuk, Paroki Administratif St. Petrus Gubug kemudian menginduk ke Paroki Sendangguwo. Hingga akhirnya, pada tanggal 17 Juli 2011, Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta Pr. meresmikan Paroki Administratif St. Petrus gubug menjadi Paroki Mandiri.
Pembangunan Fisik Gereja Keluarga Kudus Atmodirono
Memasuki era 1990an, pengembangan tak lagi berupa pemekaran wilayah. Wilayah Paroki Atmodirono setelah Lamper Sari dan Sendangguwo menjadi paroki mandiri praktis berada di tengah kota Semarang.
Batas teritori yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Paroki Santo Yusup Gedangan dan Paroki Santo Fransiskus Xaverius Kebondalem. Sebelah selatan berbatasan dengan Paroki Mater Dei Lampersari dan Paroki Santo Athanasius Agung Karang Panas. Sebelah timur berbatasan dengan Paroki Santo Paulus Sendangguwo, dan di sebelah barat berbatasan dengan Paroki Katedral Randusari.
Perumahan baru tidak mungkin muncul, dan yang semula kawasan pemukiman, seperti di daerah Jl. Atmodirono, Singosari, dan Pleburan, berkembang menjadi kawasan niaga. Rumah–rumah tinggal berubah menjadi tempat usaha. Pengembangan kini terfokus pada pengembangan fisik gereja.
Pembangunan pertama berupa Peninggian halaman serta lantai gedung gereja dan pastoran, pada masa berkarya Rm. RB. Pranatasurya MSF. Peninggian ini dianggap perlu mengingat daerah Atmodirono merupakan daerah langganan banjir kalau hujan deras terus turun.
Penambahan kapasitas gereja juga dilakukan. Semula, areal antara Gereja dan Panti Mandala yang sekarang dijadikan tempat umat mengikuti ibadat ekaristi (Ruang Antara), merupakan tempat parkir sepeda dan kendaraan bermotor milik umat yang pergi ke gereja. Tempat ini memang dirasa kurang strategis bagi umat yang mengikuti ibadat ekaristi, maka ditempatkan satu televisi monitor. Fungsinya agar umat bisa mengikuti ekaristi dengan lebih hikmat.
Usaha menambah kapasitas gereja yang berikutnya adalah Pembangunan Balkon. Bermula dari gagasan untuk bisa menampung umat pada saat misa hari minggu terutama misa ketiga, agar umat bisa tertampung dalam satu gedung gereja, maka dibanunglah balkon di dalam gereja. Pembangunan ini dilaksanakan ketika Rm. FX. Gunawan Heru Susanto MSF menjabat sebagai romo kepala paroki.
Selanjutnya, mengingat keinginan umat untuk memiliki gedung aula yang memadai, maka dengan berbagai pertimbangan Panti Mandala kemudian direnovasi menjadi dua lantai. Renovasi Panti Mandala selesai pada Desember 2004. Penandatanganan prasasti serta pemberkatan Gedung Panti Mandala yang baru ini dilakukan oleh Rm. Wilhemus Van Der Weiden MSF, selaku Superior Jenderal MSF.
Peningkatan fasilitas gereja juga dilakukan. Gedung gereja utama dilengkapi dengan AC. Perlu diketahui bahwa Pemasangan AC di dalam gereja adalah merupakan sumbangan dari umat, yang diharapkan dapat menambah kenyamanan umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi.
Pembangunan Gedung Serba Guna Christiani
Lahan yang dipakai untuk membangun gedung ini merupakan hibah dari seorang umat wilayah I yang bernama Christine Sandratika. Maka, gedung ini diberi nama Gedung Serba Guna Christiani, untuk mengingat nama umat yang telah memberikan tanahnya kepada gereja. Gedung ini mempunyai dua lantai. Lantai atas digunakan untuk mendukung kegiatan olahraga umat paroki. Sedang lantai bawah digunakan untuk tempat parkir kendaraan roda empat dan juga dipakai untuk olahraga futsal.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Rm. Mikael Walidi MSF selaku Kepala Paroki, sedang pemberkatan dan penandatanganan prasasti dilakukan oleh Rm. YR. Mulyono MSF selaku Propinsial MSF Jawa.
Pembuatan Gua Maria
Gua ini diberi nama Mater Familiae (Bunda Keluarga). Dibangun sebagai bagian dari rangkaian perayaan syukur 70 tahun ulang tahun Gereja Keluarga Kudus Atmodirono pada tahun 2010 yang lalu. Pemberkatan Gua Maria dilaksanakan pada tanggal 30 April 2010 oleh Rm. Ag. Parso Subroto MSF selaku Kepala Paroki Keluarga Kudus Atmodirono.
Renovasi Gedung Pastoran
Pengembangan bangunan fisik gereja yang terkini adalah renovasi gedung pastoran. Renovasi ini dilakukan pada bulan Juli – November 2012. Ruangan – ruangan yang ada di pastoran ditata ulang, dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Fasad muka dilengkapi Patung Keluarga Kudus sebagai identitas Paroki.
Profil Paroki Keluarga Kudus Masa Kini
Pusat kegiatan Paroki Keluarga Kudus Atmodirono yang beralamat di Jalan Atmodirono no. 8, masuk Kelurahan Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan ini terletak tidak jauh dari pusat keramaian kota. Membentang di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Candisari. Menempati lahan seluas 8.733 m2, sebagai bangunan utama gereja dengan kapasitas umat sekitar 750 orang. Secara memadai pula dapat diekstensi menjadi 1.000 umat. Didukung gedung pastoran berlantai dua, yang juga diisi ruang administrasi dan pendukung lainnya.
Terbagi menjadi 9 wilayah, 34 lingkungan, ditambah Gereja St. Mikael Demak dengan lebih kurang 4.293 umat, menurut data statistik umat tahun 2011.
Umat di paroki ini mendapat pelayanan misa harian setiap hari di gereja dan tiga kali dalam satu minggu di Kapel Roh Kudus Bangkong. Di samping itu ada misa mingguan sebanyak lima kali di gereja dan masing – masing satu kali di Kapel Kristus Raja Tegalsari, Kapel Roh Kudus Bangkong, dan Gereja St. Mikael Demak.
….And still Counting….
Perjalanan Gereja Keluarga Kudus Atmodirono tidak berhenti sampai di sini. Gereja berlindung pada Keluarga Kudus Nazareth. Menyadarkan kita pada pentingnya menggali spiritualitas hidup Yesus, Maria, dan Yosep. Banyak rencana dan kegiatan yang sepatutnya diberi semangat kekeluargaan. Di mana semangat ini menjiwai semua roda kehidupan kita sebagai anggota keluarga, anggota gereja, sekaligus sebagai anggota masyarakat. Semoga semangat ini tak hanya menjadi slogan semata dan bukan sekedar nama, tapi benar – benar sungguh terejawantahkan dalam kehidupan nyata dan menjadi tanda kehadiran-Nya secara nyata pula.
Telah dirumuskan visi dan misi paroki yang menjadi pedoman untuk membentuk dan menegaskan wajah paroki. Umat Allah Paroki Keluarga Kudus Atmodirono Semarang sebagai persekutuan paguyuban murid Yesus Kristus, dalam bimbingan Roh Kudus dan teladan Keluarga Kudus berupaya menghadirkan Kerajaan Allah melalui keluarga yang semakin memiliki iman mendalam, tangguh, misioner, sehingga menjadi signifikan dan relevan bagi umat dan masyarakat. Demikian visi paroki yang didukung dengan 7 pilar misi paroki.
Maka sebagai paroki dengan Keluarga Kudus sebagai pelindungnya, mempunyai konsekuensi membawa pada kehidupan menggereja yang bergerak aktif secara bersama – sama dan saling mendukung dari semua komponen paroki dengan dijiwai spiritualitas Keluarga Kudus. Perlu ditegaskan kembali, bahwa kekhasan paroki berpusat pada Keluarga Kudus dan menghadirkan kerajaan Allah melalui keluarga. Sehingga keluarga menjadi kata kunci dalam model tata penggembalaan paroki, yang pada gilirannya dengan memberdayakan segenap komponen paroki membentuk umat yang semakin memiliki iman yang mendalam dan tangguh.
Semoga kehadiran Gereja Keluarga Kudus Atmodirono dapat menjadi garam dan terang bagi masyarakat Memang tak mudah, namun akan lebih berarti di mana pancaran kasih Allah menjadi semakin bermakna dan mendalam. Cintak kasihNya dihadirkan dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat. Pewartaan dan kehadiran Allah sudah teruji selama 75 tahun. Waktu yang cukup lama untuk sebuah proses.
Selama kurun waktu 75 tahun ini hendaknya tak cukup berpuas diri dan berhenti berbuat. Kiranya masih banyak lagi PR yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah mohon tumbuh suburnya benih panggilan untuk menjadi imam, biarawan, dan biarawati. Jumlah yang ada sekarang ini bisa dihitung dengan jari, tak sebanding dengan usia Gereja.
Semoga Gereja Keluarga Kudus Atmodirono menjadi jauh lebih berkembang, terbuka, dan transparan. Sehingga akan terjalin relasi dan komunikasi dua arah dan timbal balik di antara sesama umat, dewan paroki, dan para romo. Menemukan kekurangan dan kekuatan dari berbagai unsur kehidupan dimasa mendatang. Tidak berakhir dalam kurun waktu tertentu, tetapi berlangsung untuk selamanya. Berkesinambungan dari waktu ke waktu. Mewariskan hal-hal terbaik pada generasi baru yang adalah kewajiban kita bersama. Semakin meneguhkan dan saling menyemangati. Lebih terlibat berbagi berkat.
“Meneladan Keluarga Kudus adalah cara yang paling baik dan paling efisien untuk menghormatinya”
Untaian Kata Bijak Pater Jean Berthier No. 276